Perspektif Undang-undang Desa. Sejak kemerdekaan 1945, Republik Indonesia tidak pernah memiliki kebijakan dan regulasi tentang desa yang kokoh, legitimate dan berkelanjutan. Perdebatan akademik yang tidak selesai, tarik menarik politik yang keras, kepentingan ekonomi politik yang menghambat, dan hasrat proyek merupakan rangkaian penyebabnya. Prof. Selo Soemardjan, Bapak Sosiologi Indonesia dan sekaligus promotor otonomi desa, berulangkali sejak 1956 menegaskan bahwa sikap politik pemerintah terhadap desa tidak pernah jelas.
Perdebatan yang berlangsung di sepanjang hayat selalu berkutat pada dua hal. Pertama, debat tentang hakekat, makna dan visi negara atas desa. Sederet masalah konkret (kemiskinan, ketertinggalan, keterbelakangan, ketergantungan) yang melekat pada desa, senantiasa menghadirkan pertanyaan: desa mau dibawa kemana? Apa hakekat desa? Apa makna dan manfaat desa bagi negara dan masyarakat? Apa manfaat desa yang hakiki jika desa hanya menjadi tempat bermukim dan hanya unit administratif yang disuruh mengeluarkan berbagai surat keterangan?
Kedua, debat politik-hukum tentang frasa kesatuan masyarakat hukum adat dalam UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) serta kedudukan desa dalam tata negara Republik Indonesia. Satu pihak mengatakan bahwa desa bukanlah kesatuan masyarakat hukum adat, melainkan sebagai struktur pemerintahan yang paling bawah. Pihak lain mengatakan berbeda, bahwa yang disebut kesatuan masyarakat hukum adat adalah desa atau sebutan lain seperti nagari, gampong, marga, kampung, negeri dan lain-lain yang telah ada jauh sebelum NKRI lahir. Debat yang lain mempertanyakan status dan bentuk desa. Apakah desa merupakan pemerintahan atau organisasi masyarakat? Apakah desa merupakan local self government atau self governing community? Apakah desa merupakan sebuah organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota?
Dua Undang-undang yang lahir di era reformasi, yakni UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004, ternyata tidak mampu menjawab pertanyaan tentang hakekat, makna, visi, dan kedudukan desa. Meskipun frasa “kesatuan masyarakat hukum”.
dan adat melekat pada definisi desa, serta mengedepankan asas keragaman, tetapi cita rasa “pemerintahan desa” yang diwariskan oleh UU No. 5/1979 masih sangat dominan.
Secara garis besar perubahan ditunjukkan dengan pembalikan paradigma dalam memandang desa, pemerintahan dan pembangunan yang selama ini telah mengakar di Indonesia. Pembalikan itu membuahkan perspektif “desa lama” yang berubah menjadi “desa baru” sebagaimana tersaji dalam tabel berikut:
Tabel: Desa Lama Vs Desa Baru
Unsur-Unsur |
Desa Lama |
Desa Baru |
Dasar konstitusi | UUD 1945 Pasal 18 ayat 7 | UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2 dan Pasal 18 ayat 7 |
Payung hokum | UU No. 32/2004 dan PP No.72/2005 | UU No.6/2014 |
Visi-misi | Tidak ada | Negara melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan Pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera |
Asas utama | Desentralisasi-residualitas | Rekognisi-subsidiaritas |
Kedudukan | Desa sebagai organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota (local state government) | Sebagai pemerintahan masyarakat, hybrid antara self governing community dan local self government |
Delivery kewenangan dan program | Target:pemerintah menentukan target-target kuantitatif dalam memnangun desa | Mandat:negara memberi mandat kewenangan, prakarsa dan pembangunan |
Kewenangan | Selain kewenangan asal usul,menegaskan tentang sebagian urusan kabupaten/kota yang diserahkan kepada desa | Kewenangan asal-usul (rekognisi) dan kewenangan lokal berskala desa (subsidiaritas). |
Politik tempat | Lokasi: Desa sebagai lokasi proyek dari atas | Arena: Desa sebagai arena bagi orang desa untuk menyelenggarakan pemerintahan,pembangunan, pemberdayaan dan kemasyarakatan |
Posisi dalam pembangunan | Obyek | Subyek |
Model pembangunan | Government driven development atau community driven development | Village driven development |
Karakter politik | Desa parokhial, dan desa korporatis | Desa inklusif |
Demokrasi | Demokrasi tidak menjadi asas dan nilai, melainkan menjadi instrumen. Membentuk demokrasi elitis dan mobilisasi partisipasi | Demokrasi menjadi asas, nilai, sistem dan tatakelola. Membentuk demokrasi inklusif, deliberatif dan partisipatif |