Berpuluh tahun silam sejak lahirnya Desa Gaya Baru pada tahun 1960-an hingga Tahun 2014 sebelum UU Desa No.6 Tahun 2014 lahir, Desa seperti seorang gadis kurapan yang untuk menyebut namanya saja enggan, apa lagi mengayunkan langkah untuk menjajaki kehidupan di Desa. Masa-masa itu, Desa merupakan sebuah kampung yang gelap, primitif dan terbelakang dalam segala aspek baik itu dari sisi infrastruktur, geliat ekonomi maupun pelayanan sosial dasar.

Tahun 2014 setelah setahun Undang Undang Desa No. 6 Tahun 2014, terhitung sejak awal tahun anggaran 2015 hingga sekarang penghujung tahun 2018, Desa seolah menjadi gadis molek bestari yang menjadi rebutan untuk meminang dan menikahinya. Banyak mata dan hati terpana pada Desa, bahkan ada yang nekat datang dari Kota dengan segala jiwa dan raga untuk mendekati Desa, melewati jalan berbatu, tikungan dan tanjakan, menabrak badai dan matahari hanya untuk mendapatkan keuntungan di Desa. Dana Desa pun menjadi rebutan para kontraktor yang memiliki modal, adanya Dana Desa, banyak kaum intelek yang dulunya meninggalkan Desa dan hidup di Kota, berbondong-bondong kembali ke Desa dan bersaing untuk menjadi Kepala Desa, Aparat Desa dan Kader Desa, Banyak Kaum muda dari Kota dengan idealisme membangun Desa baik lewat BUMDes maupun kegiatan dan aktifitas lainnya di Desa yang bersumber dari Pos Pembiayaan Dana Desa dan akhirnya Pemerintah Republik Indonesia pun membuka ruang memobilisasi ribuan anak muda di seantero negeri ini untuk menjadi Pendamping Desa dan ditugaskan ke seluruh pelosok Desa dari Sabang Sampai Merauke. Data terakhir dari Kementrian Desa, Jumlah Desa di Indonesia 79.400 Desa dengan total Pendamping Desa 40.000 personil. Pada titik kembali ke Desa sebuah tanya menggugat, apakah Kembali ke Desa merupakan sebuah panggilan hidup ataukah datang ke Desa hanya untuk meraup keuntungan dari Dana Desa dan setelah itu menghempaskan Desa dalam ketertinggalan yang sama?

            Woody Guthrie dengan petikan dawai gitarnya melantunkan lirik lagu “As I was walking a ribbon of highway / I saw above me an endless skyway / I saw below me a golden valley / This land was made for you and me.” Guthrie menggambarkan keindahan alam Amerika seraya mengecam siapapun yang tidak layak untuk berbagi kebahagiaan dari Tanah Amerika yakni orang-orang serakah, perampas lahan, tuan tanah yang jahat dan sebagainya. Balada Guthrie “This Land is Your Land” akhirnya menginspirasi dua orang muda Amerika Adam Motsinger dan John Mantzaris meninggalkan pekerjaan mapan di kota untuk hidup di Desa dan membaktikan diri menghidupkan gairah masyarakat di Desa untuk berdaya dan mandiri. Mereka datang ke Desa dan tinggal di Desa. Tidak lagi meninggalkan Desa hingga tulisan ini direalese.

“ Kami menyadari sepenuhnya bahwa banyak hal yang ingin kami lakukan di Desa misalnya menanam tanaman yang berumur panjang, membangun dari Desa merupakan sebuah idelisme dan bakal memakan waktu yang lama. Namun kami pasti bisa bila kami tinggal di Desa. Pemikiran-pemikiran jangka pendek, menengah dan panjang serta berkelanjutan itu yang menarik kami memutuskan untuk tinggal dan hidup di Desa.” Kata Motsinger seperti yang dilansir The Guardain.

UU Desa No.6 Tahun 2014 Bab 1 Pasal 1 mendefinisikan Desa dan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa adalah wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Repblik Indonesia. Kehadiran Undang-Undang Desa sesungguhnya memberikan kewenangan penuh kepada Desa untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya. Ada dua kewenangan yang diamanatkan Undang Undang Desa No. 6 Tahun 2014 yakni Kewenangan Desa berdasarkan asal usul dan Kewenangan local berskala desa. Kehadiran Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan tantangan sekaligus harapan baru bagi Desa. Dalam Undang Undang tersebut, Pemberdayaan Masyarakat menjadi sebuah misi, tujuan, asas dan agenda kebijakan yang secara prinsip diwujudkan dengan mengakui dan menetapkan kewenangan desa, sementara Pemerintah berkewajiban agar Desa mampu melaksanakan upaya Pemberdayaan, pembinaan dan pengawasan. Pendamping Desa dalam keberadaannya di Desa merupakan salah satu kekuatan yang hadir untuk membantu Desa dalam mempercepat kemajuan Desa menjadi Desa berdaya di mana pola pemberdayaan masyarakat menjadi titik sasaran pendampingan, sehingga dengan demikian masyarakat yang tidak berdaya beralih menjadi berdaya menuju mandiri hingga madani.

Fakta bahwa Dana Desa menjadi rebutan para pemodal dan para elite di Desa menjadi tantangan tersendiri bagi Pendamping Desa dalam melaksanakan tugas pendampingan. Ahmad Heri Firdaus Ekonom Institute for Development of Economics and Finance mengatakan bahwa Dana Desa yang digelontorkan Pemerintah hingga ratusan triliun sejak tahun 2015 silam lebih banyak dimanfaatkan oleh 20 % masyarakat yang merupakan golongan teratas. Fakta ini bila dikorelasikan dengan data Badan Pusat Statistik benar adanya bahwa ratio ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin di Indonesia turun tipis dari 0,391 pada September 2017 menjadi 0,389 pada Bulan Maret 2018. Fakta ini diperkuat lagi dengan viralnya kasus penangkapan 900 Kepala Desa di Indonesia oleh Komisi Pemberantasan Korupsi memang sungguh benar adanya bahwa Dana Desa yang tujuannya memberdayakan masyarakat desa untuk menjadi mandiri sesungguhnya belum tepat sasar. Lalu apakah momok dari fakta tersebut yang harus menjadi hambatan bagi seorang Pendamping Desa? Haruskah Pendamping Desa diam dengan keadaan tersebut? Tentu tidak.

Undang-Undang Desa No,6 Tahun 2014 menggariskan dua belas tugas pendamping Desa yakni mengawal implementasi UU Desa dan mendorong pelaksanaan UU Desa itu dengan cara memberdayakan warga desa dan melahirkan kader-kader pembangungan desa yang baru. Untuk menjalankannua, pendamping desa harus menjalankan dua belas fungsi utama yakni 1) memfasilitasi penetapan dan pengelolaan kewenangan local berskala desa dan kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul, 2) memfasilitasi penyusunan dan penetapan peraturan desa yang disusun secara partisipatif dan demokratis, 3) Fasilitasi pengembangan kapasitas para pemimpin desa untuk mewujudkan kepemimpinan desa yang visioner, demokratis dan berpihak pada kepentingan masyarakat desa, 4) memfasilitasi demokratisasi desa, 5) Memfasilitasi kaderisasi desa, 6) Memfasilitasi pembentukan dan pengembangan lembaga kemasyarakatan desa, 7) Memasilitasi pembentukan dan pengembangan pusat kemasyarakatan (community center) di desa dan atau antardesa, 8) Memfasilitasi ketahanan masyarakat desa melalui penguatan kewarganegaraan seta pelatihan dan advokasi hukum, 9) Memfasilitasi desa mandiri yang berdaya sebagai subyek pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan desa yang dilaksanakan secara partisipatif, transparan dan akuntabel, 10) Memfasilitasi pembentukan dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa, 11) Memasilitasi kerjasama antardesa dan kerjasama desa dengan pihak ketiga, 12) Fasilitasi pembentukan serta pengembangan jaringan sosial dan kemitraan. Seyogyanya dua belas fungsi utama Pendamping Desa yang terpapar akan dilaksanakan dengan baik apabila Pendamping Desa berkomitmen pada diri untuk melakukan improvisasi pendampingan lewat praktek Live In.

Live In merupakan sebuah langkah praktis dalam menitiksasarkan Dana Desa dalam progres Pemberdayaan Masayarakat Desa. Live In dalam konteks ini adalah tinggal bersama, hidup bersama untuk merasakan kehidupan masyarakat di Desa baik suka maupun duka. Dengan tinggal bersama dan hidup bersama masyarakat di Desa, maka dalam proses pendampingan, seorang pendamping desa akan menjadi lebih intens berinteraksi dengan masyarakat desa, sehingga dengan demikian maka setiap kebutuhan yang ada di desa akan diprogramkan secara partisipatif dalam musyawarah bersama. Hanya dengan Live In maka program yang lahir di desa untuk didanai dengan Dana Desa adalah Program yang lahir karena kebutuhan masyarakat desa bukan keinginan segelintir oknum elite di Desa. Dengan Praktek Live In, seorang Pendamping Desa dengan sendirinya dapat mengoptimalkan dan menghindarkan penyelewengan dana desa lewat interaksi aktif bersama aparat desa dan stakeholder di desa dan dengan dengan demikian dapat menjawabi tantangan kebutuhan di desa lewat memastikan seluruh masyarakat desa dampingan dapat menunaikan amanat Undang Undang Desa yakni pelestarian dan pemajuan budaya dan mendorong partisipasi masyarakat desa, meningkatkan ketahanan sosial budaya dan memajukan perekonomian masyarakat desa, membentuk pemerintah desa yang baik, meningkatkan pelayanan publik serta memperkuat masyarakat desa sebagai subyek pembangunan di desa. Bukan obyek pembangunan di desa.

Berikut adalah beberapa contoh hasil praktek Live In di Desa di area Wilayah Kecamatan Golewa. Dengan komitmen Live in, masyarakat di Desa Sarasedu menjadi terbuka pada peningkatan kapasitas Kelompok tani hortikultura. Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, Tokoh Perempuan terlibat dalam musyawarah Desa dan sepakat melahirkan sebuah program yang berasas pada kebutuhan masyarakat Desa Sarasedu yakni Menjadikan Desa Sarasedu sebagai Desa Agrowisata Hortikultura dengan lokusnya di Puncak Hedakela. Begitu pula Desa Ekoroka, seluruh aparat Desa Ekoroka, BPD Ekoroka dan masyarakat Desa Ekoroka sekarang telah mendirikan Badan Usaha Milik Desa Sehati Ekoroka dengan jenis usaha Percetakan Batako dan Ternak Ayam Kampung. Di Desa Wae Ia dan Desa Ratogesa pun masyarakat di dua desa tersebut telah mencanangkan Desa Wae Ia dan Desa Ratogesa sebagai Desa Layak Anak. Kini setelah Bursa Inovasi di Kabupaten Ngada, Pendamping Desa di Golewa berkomitmen untuk tetap menerapkan praktek live in untuk menyukseskan program One Village One Inovation dengan berlandaskan pada asas musyawarah desa untuk menetapkan model inovasi berdasarkan potensi desa yang sudah dipetakan oleh masyarakat desa secara partisipatif sesuai tipologi desa yang ada di Kecamatan Golewa.

Berdasarkan pengalaman praktek Live In di Desa, sebagai seorang pendamping desa harus mengamini pesan Bapak Farry Francis saat memberikan materi pada Kegiatan Pelatihan dan Pengutan Kapasitas Pendamping Desa di Nusa Tenggara Timur bahwa sesungguhnya Pendamping Desa bukan seorang Santa Claus yang menghadirkan diri di desa dengan membawa program sebagai hadiah bagi masyarakat di Desa. Tetapi sesungguhnya harus terjun dan hidup langsung dengan masyarakat di desa dengan mewujudkan semangat partisipasi masyarakat desa untuk melahirkan program di desa berdasarkan kebutuhan masyarakat di Desa.

Dengan ada dan tinggal bersama masyarakat di desa lewat praktek Live In maka pendamping desa dapat mewujudkan keterpanggilan jiwa dalam pengabdian yang total bagi kemandirian masayrakat desa dampingannya serta otomatis menunaikan amanat Peraturan menteri Desa Nomor 3 Tahun 2015 yakni yang dituju oleh seorang pendamping desa adalah peningkatan kapasitas, efektifitas dan akuntabilitas pemerintah desa dan pembangunan desa, kemudian meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan desa yang partisipatif, sinergi program pembangunan desa antar sector dan optimalisasi aset local secara emansipatoris.

Hidup di desa sesungguhnya adalah sebuah balada kehidupan dalam pencarian kebahagiaan hidup dengan terlibat aktif menghidupkan yang lain.

“HIDUP DI DESA MERUPAKAN SEBUAH BALADA KEHIDUPAN MENCARI KEBEBASAN JIWA UNTUK HIDUP DAN MENGHIDUPKAN.”

Salam Berdesa/Charles Lakapu

2 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *