Sekjen Kemendes PDTT Anwar Sanusi menjelaskan bahwa lima tahun berjalannya UU Desa sudah ada proses perubahan wajah di pedesaan yang mulai membaik. Baik itu dari segi infrastruktur dan pelayanan sosial.
“Ini adalah fakta yang harus diakui keberhasilannya,” ungkap Anwar dalam keterangan tertulis, Sabtu (9/11/2019).
Hal itu ia ungkapkan saat menjadi pembicara dalam diskusi publik di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada Jumat (8/11).
“Kalau berbicara ke depan, kita harus move on dari masa lalu, infrastruktur penting tapi bukan yang utama. Rekognisi yang menguat di pedesaan harus betul-betul didorong dan mengaktualisasikan dalam kegiatan yang berpihak betul kepada masyarakat desa, sehingga di desa tidak ada lagi orang atau kelompok masyarakat yang ditinggalkan. Tak ada lagi tuduhan kafir, cacat, sesat dan lain-lain. Kita harus terus mempromosikan keragaman di masyarakat,” tambahnya.
Lebih lanjut Anwar mengatakan bahwa dalam mewujudkan desa inklusif haruslah diperkuat musyawarah desanya. Untuk itu, aturan pertama yang dibuat Kemendes PDTT yakni Peraturan Menteri (Permen) tentang Musyawarah Desa, karena musyawarah merupakan instrumen yang ada di desa untuk pembangunan desa.
“Di situ sudah disebutkan bagaimana kegiatan harus inklusif dan mementingkan seluruh masyarakat desa. Ke depan, kita terbuka untuk melakukan review, dan forum ini adalah forum yang tepat untuk mendapatkan masukan bagaimana untuk menciptakan desa yang inklusif,” katanya.
Edy Supriyanto, Direktur SEHATI, pegiat Desa Inklusif Sukoharjo, menjelaskan SEHATI sejak 1997 membuat kegiatan-kegiatan yang melibatkan disabilitas.
“Langkah awal kami melakukan pengorganisiran disabilitas dengan membangun kelompok sehingga sekarang di Kabupaten Sukoharjo ada 60 desa yang selalu melakukan pertemuan untuk memperkuat kelompok rentan,” ungkap Edy
Edy menjelaskan SEHATI sudah membentuk self help group. Kelompok-kelompok ini yang akan memperkuat program-program desa inklusif. “Ada dua faktor yang harus ada untuk mendorong program-program inklusi di didesa yaitu akses dan partisipasi,” tambah Edy.
Menurut Edy, Musdes masih belum dipahami oleh desa, misalnya Musdes itu harus diawal sebelum Musrenbang. “Banyak desa melakukan Musrenbang dulu baru Musdes, ini yang kami kawal,” ungkap Edy.
“Desa Inklusi tidak hanya sekadar difabel mendapatkan anggaran, karena selama ini anggaran hanya untuk charity bukan untuk memperkuat kelompok disabilitas, ini yang kami kawal,” tambah Edy.
Menurut Edy, kegiatan Desa Inklusi di Sukorharjo sudah masuk inovasi. “Sehati dipercaya menjadi salah satu tim inovasi di kabupaten. Ketika ada desa yang ingin masuk menjadi desa inklusi, sehati memberikan konsultasi dan mendorong pembentukan Perbup,” lanjutnya.
Ulya Jamson, Dosen Fisipol UGM mengatakan bahwa Fisipol telah berkerja sama dengan program Peduli dan melakukan studi tentang inklusi sosial.
“Setelah 2014 studi kembali ke desa lagi karena adanya shifting politik. Desa menjadi strategis dan sosial inklusi menjadi praktikal. Penelitian ini melihat 4 dimensi, yaitu mikro subjektif, makro obyektif, mikro obyektif dan makro obyektif,” katanya.
Arie Sujito, sosiolog UGM dan Pengasuh Sanggar Maos Tradisi, menjelaskan bahwa prinsip inklusi desa, yaitu desa yang memberikan kesetaraan kepada masyarakat yaitu memberikan akses untuk terlibat dalam perencanaan di desa.
“Inklusifitas itu ditandai dengan terlibatnya masyarakat dan kelompok rentan dalam pengambilan kebijakan,” ungkap Arie. Menurut Arie, desa merupakan entitas yang dalam sehariannya sudah melakukan inklusifitas. “Desa itu entitas yang sudah melakukan inklusifitas” tambah Arie.
Arie mengajak kelompok rentan untuk menjadikan Musdes sebagai arena strategis dengan melibatkan kelompok disabilitas dan kelompok rentan lain dalam perencanaan desa.
“Saya selalu bilang kalau tidak diundang di dalam Musdes, harus minta datang karena inklusifitas tidak bisa hadir begitu saja tanpa diperjuangkan, ruang-ruang itu harus direbut oleh kelompok-kelompok rentan,” ungkap Arie.
“Kita harus melakuan terobosan, desa jangan menunggu dari kabupaten, desa harus mempunyai inisiatif untuk memperkuat desa inklusif,” katanya.
Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) bekerja sama dengan Program Peduli dan Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan (PSPK) UGM dalam menyelenggarakan Diskusi Publik yang bertemakan “Menuju Desa Inklusif 2020 : Peran Perguruan Tinggi dan Masyarakat Sipil dalam Mengawal Implementasi Desa Inklusif”.
Diskusi ini bertujuan untuk mendapatkan input dan tanggapan dari civitas akademika, peneliti dan penggiat desa dalam implementasi Desa Inklusif yang diharapkan bisa dimulai pada 2020.
Saat ini Kemendes PDTT bekerja sama dengan Program Peduli sedang menyelesaikan Panduan Fasilitasi Desa Inklusif. Panduan ini diharapkan menjadi pedoman bagi pemerintah desa, pendamping desa dan masyarakat untuk mewujudkan desa inklusif yang adil, setara dan tidak meminggirkan salah satu atau beberapa kelompok masyarakat dalam pembangunan.
Buku panduan ini berawal dari semangat Undang-Undang no 6 tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan tujuan pembangunan desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana-prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan, serta berkontribusi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak terhadap kelompok yang terpinggirkan.