BUM DESA: “DESA MEMANDANG EKONOMI”

Setelah pelantikan sebagai Menteri Desa, Eko Putro Sanjoyo melakukan kunjungan keJawa Tengah dan bertemu dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (Sindonews,1/8/2016). Komunikasi  politik  kebijakan  berdesa  ini  patut  diapresiasi, terutama langsung membahas isu ekonomi desa yang penting, yakni pengelolaan badan usaha milik desa (BUM Desa).

Provinsi Jawa Tengah dan sekitarnya dikenal dengan prakarsa BUM Desa yang sukses. BUM  Desa  Bleberan  di  Gunung  Kidul  berbasis  desa  wisata  berupa  Gua  Rancang Kencono dan air terjun Sri Gethuk. BUM Desa Ponggok Klaten mengelola revitalisasi umbul yang dijadikan wisata masyarakat setempat dan pengunjung dari daerah lain. “BUM Desa Bersama” Karangsambung Kebumen bergerak di unit usaha konveksi dan potensial melakukan ekspor.

Fondasi kebijakan BUM Desa sebelumnya telah dicanangkan pada masa Menteri Desa Marwan Jafar, melalui penerbitan Peraturan Menteri Desa No 4/2015 yang mengatur BUM Desa. Isu kebijakan kali ini dinyatakan Menteri Desa Eko Putro Sanjoyo, meliputi pendirian BUM Desa sesuai potensi Desa, manajemen BUM Desa, dan kerja sama BUM Desa dengan pihak ketiga.

Tragedi

Teori ekonomi yang menekankan investasi untuk pertumbuhan ekonomi selalu mengalami kegagalan ketika dibawa ke desa. Kebenaran statistika pertumbuhan belum tentu diikuti dengan pengukuran yang tepat bagi kesejahteraan (Stiglitz, Sen, Fitoussi:

2009). Mesin pertumbuhan (engine of growth) tidak cukup menolong usaha masyarakat desa. Tambang timah bertaburan di Belitung Timur, tapi saat ini mulai menurun kekuatannya sebagai mesin pertumbuhan. Masyarakat desa masih menjadi “penonton”, termarjinalisasi sehingga sulit mengakses pundi-pundi itu.

Ketika penulis memfasilitasi diskusi dengan perwakilan desa di Pemkab Belitung Timur (2016), muncul gagasan pembentukan BUM Desa Bersama yang dimiliki 2 (dua) desa atau lebih untuk mengelola lahan eks-timah, kawasan perdesaan wisata, dan kerja sama antardesa lainnya. Di Karangasem Bali, BUM Desa Bersama dan BKAD (Badan Kerja sama Antar Desa) sudah memutuskan BUM Desa Bersama sebagai mesin pertumbuhan melalui pengelolaan aset dan perguliran dana warisan PNPM-MPd.

Kedudukan BUM Desa dan BUM Desa Bersama tak dapat dilepaskan dengan rencana investasi desa. Terminologi rencana investasi Desa dalam UU Desa bukanlah dibingkai dalam perspektif “ekonomi melihat desa”, tetapi “desa melihat ekonomi”. Adagium “ekonomi melihat desa” adalah “ambil sepuluh bisa, kenapa hanya ambil satu”. Investasi desa model ini hanya memberi ruang pada ekstraksi, akumulasi, dan eksploitasi. Eksploitasi akan mengakibatkan tragedy of commons (Garret Hardin: 2001) terhadap sumber daya desa yang bersta- tus kepemilikan bersama, seperti laut, pesisir, irigasi tersier, bahan tambang, dan seterusnya.  Adagium “desa melihat ekonomi” adalah desa mempunyai rasa kebercukupan (nrimo ing pandhum), keseimbangan, dan tradisi lokalitas.

Bagi ekonom yang ber-grand theory, perspektif ini dicap sebagai ekonomi subsisten. BUM Desa Wadas Karawang bergerak di pemenuhan sembako dan elpiji. BUM DESA Bojong Purwakarta mengelola unit usaha pasar Desa. BUM Desa Lempeni Lumajang mengolah limbah sampah, didukung program Jalin Matra Pemprov Jawa Timur. Posisi Kementerian Desa dan institusi pemerintah lainnya sudah saatnya kritis atas labelisasi ekonomi   subsisten   desa,   dan   beralih   ke   tradisi   lokalitas       sebagai   mesin pertumbuhannya.

Mesin Pertumbuhan

Kebijakan pendirian, pengelolaan, dan kerja sama BUM Desa dengan pihak lainnya menghadapi   pertanyaan institusional, siapa yang menguasai dan mengelola proses ekonomi desa? Pendirian BUM Desa sesuai potensi desa terganggu dengan isu legalitas badan hukum dan miskin pendekatan prakarsa. UU Desa sudah tegas mencantumkan legalitas BUM Desa melalui Peraturan Desa (Perdes), tetapi masih dianggap lemah karena tidak dilegalisasi dengan Perda dan akta notaris (interpretasi atas UU No 32/-

2004 Pemda jo PP No 72/2005 Desa). Pasca  terbitnya UU Desa,  asas hukum lex posterior  derogat  legi  priori  berlaku  sehingga rezim  regulasi  sebelumnya dikesampingkan.

Desa adalah pihak yang ber- kuasa dan berhak mengelola proses ekonomi desa, sepanjang  ditujukan untuk common pool resources. Di Kabupaten Bandung, BUM Desa Sukamenak merintis kerja sama dengan BUM Desa Cangkuang untuk pengelolaan air bersih sebagai common pool resources. BUM Desa Bersama Karang Intan, Banjar Baru, Kalsel, bergerak dalam unit sim- pan pinjam, air bersih, pembayaran listrik, pembelian gabah, pakan ternak,wisata desa, karamba ikan, pengasapan karet, dan penggemukan sapi.

Keberhasilan BUM  Desa wisata inspiratif bagi pemerintah untuk menciptakan regulasi dan kebijakan yang sederhana, “di desa kami ada gua dan umbul yang menarik, lalu dibuatlah   BUM   Desa”.   BUM   Desa   dan   BUM   Desa   Bersama   menjadi   “mesin pertumbuhan”, badan usaha yang bercirikan kesadaran lokalitas desa, sekaligus mencegah tragedi.

Siasat kebijakan Kementerian Desa ke depan sudah saatnya hadir untuk common pool resources dan shareholding secara inkremental. Pertama, pengakuan atas kreasi BUM Desa dan BUM Desa Bersama yang telah eksis. Kedua, kapitalisasi atas aset desa yang dimiliki bersama. Ketiga, kolaborasi BUM Desa atau BUM Desa Bersama dengan perusahaan  swasta  dalam  sistem shareholding  yang  diamanatkan  Nawa  Cita  dan RPJMN 2015 – 2019. (Anom Surya Putra, Koran SINDO, 5 Agustus 2016. Dikutip dengan sedikit adaptasi).

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *